“Ini bisa jadi akibat kurangnya interaksi, sosialisasi, kontribusi, dan kolaborasi antara pemimpin daerah bersama komunitas-komunitas anak muda,” papar Wildan.
“Hasil survei ini mempertegas perlunya peningkatan akses dan pengetahuan politik anak muda agar dapat terlibat aktif dalam pembangunan di daerahnya,” sambung lulusan Universitas Soedirman (Unsoed) ini.
Sementara itu, peneliti Perludem Maharddhika mengatakan, kalangan muda yang menginginkan pilkada tetap dilaksanakan pada 9 Desember 2020 atau ditunda juga hampir imbang.
"Sebesar 41 persen ingin (pilkada) lanjut saja dengan protokol, 37 persen ingin ditunda karena masih pandemi, sementara 13 persen tidak peduli," ujarnya.
Baca Juga: KPK Sebut Pelaksanaan Pilkada Pintu Masuk Korupsi oleh Kepala Daerah
Direktur Kerjasama Change.org Indonesia Desma Murni menambahkan, survei dilakukan kepada mayoritas responden survei (82%) adalah anak muda di rentang usia 17-30 tahun dan pengguna aktif media sosial.
Kata dia, tingginya partisipasi responden usia muda menyuarakan kepeduliannya terkait Pilkada menjadi indikasi positif partisipasi politik. Namun aspirasi itu perlu didengar dan ditindaklanjuti oleh para pemegang kebijakan di daerahnya.
“Calon kepala daerah yang ikut Pilkada semestinya dapat merangkul anak muda. Bukan hanya sebagai konstituen atau target pengumpulan suara, melainkan juga mendengarkan suara dan melibatkan mereka sebagai mitra untuk membangun daerahnya,” sambung Desma.***