Sosok Syekh Nawawi Al Bantani, Ulama Kharismatik Banten dan Guru Ulama Nusantara hingga Dunia

- 22 April 2021, 02:30 WIB
Maulid atau tempat lahirnya Syekh Nawawi Al Bantani di Tanara, Kabupaten Serang Banten.
Maulid atau tempat lahirnya Syekh Nawawi Al Bantani di Tanara, Kabupaten Serang Banten. /Ken Supriyono/SerangNews.com/

SERANG NEWS - Nama agung tersemat pada sosok Syekh Nawawi Al Bantani. Ratusan ulama dilahirkan dari kedalaman pengetahuannya.

Kitab-kitab karya Syekh Nawawi Al Bantani pun banyak dirujuk ulama seantero Nusantara hingga dunia. Bahkan, hingga kini, kitab-kitab tersebut masih digunakan di banyak Pondok Pesantren.

Hikayat Syekh Nawawi Al Bantani menapak tilas di bumi Tanara. Di kampung ujung Kabupaten Serang ini, lahir seorang putra pada 1813 dari ulama bernama pasangan ulama Zubaedah dan Kiai Umar.

Namanya kelak menjadi ulama tersohor. Mercusuar khasanah intelektual Islam sekaligus maha guru para ulama Nusantara hingga dunia.

Baca Juga: HIKMAH RAMADHAN 7: Keutamaan Sholawat atas Nabi Muhammad SAW dalam Tanqihul Qaul Syekh Nawawi Al Bantani

Masa kecilnya dicurahkan mendaras ilmu agama dari ayahandanya, Kiai Umar. Kecerdasannya membaca Alquran, menulis huruf Arab, hingga ilmu fikih menuntunnya mewarisi kebijaksanaan Kiai Umar. Juga kedalaman dua gurunya, Kiai Sahal Serang dan KH Yusuf Purwakarta.

Waktu menuntun Nawawi kecil tumbuh sebagai remaja pendaki pengetahuan. Saat genap berusia 15 tahun, ia melancong ke Mekkah memperdalam kalam Tuhan.

Predikat hafiz pun berhasil disandangnya dalam kurun waktu tiga tahun. Tak terkecuali, penguasaan ilmu dasar bahasa Arab, ilmu kalam, mantiq, hadis, tafsir, dan fikih.

Dari Tanah Suci, kepulangannya disambut suka cita. Sejurus dengan genggap gembita namanya yang abadi sebagai nama masjid, Pondok Pesantren, jalan hingga kawasan daerah.

Baca Juga: Senjata Pena Tirto Adhi Soerjo, Mas Marco Kartodikromo: Pengguncang Bumiputra Bangun dari Tidurnya

Napak tilas Nawawi pun masih hidup di Kampung Tanara dan sekitarnya. Masjid Jami An-Nawawi menjadi mercusuar cahaya kebajikan. Masjid itu terletak di Gang Kampung Pesisir, Desa Pedaleman, Tanara. Jaraknya sekira tiga kilometer dari rumah kelahirannya di Kampung Tanara, Desa Tanara.

Warga Kampung Pesisir meyakini masjid yang mempertahankan mihrab aslinya, warisan pertama Syekh Nawawi, sebelum meninggalkan tanah kelahiran.

Saat jelang senja di bulan puasa Ramadhan, orang-orang berkumpul di beranda masjid. Bertawasul menunggu beduk Magrib tiba.

“Alhamdulillah, mari buka dulu mas,” ajak salah satu warga yang antusias menyambut kumandang adzan.

Baca Juga: Pemerintah Larang Takbir Keliling di Malam Lebaran 2021, Menag: Silakan Takbiran di Masjid

Masjid Jami An-Nawawi sebelumnya bernama Bani An-Nawawi. Kesepakatan warga menggantinya dengan nama Jami An-Nawawi. Dalihnya, di kampung itu tak ada satu pun garis keturunan langsung Syekh Nawawi.

“Makanya Jami, karena kita semua bangsa Nawawi dari para muridnya,” kata Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Jami An-Nawawi, H Husni di kediamannya yang hanya sepuluh langkah dari masjid.

“Jika pun ada silsilah bukan dari garis keturunan langsung Syekh Nawawi. Yang saya tahu, keturunan beliau Haji Helmi yang sekarang ada di Surabaya,” sambung H Husni yang dibenarkan warga lainnya.

Masjid yang tidak terlalu besar mulanya hanya berupa bale panggung dari bambu. Pada 1340 Hijriah, Ki Arsyad Gani, murid Syekh Nawawi Al Bantani merehabnya.

Baca Juga: HIKMAH RAMADHAN 8: Akibat Menumpuk Harta dan Meninggalkan Harta pada Nashoihul Ibad Syekh Nawawi Al Bantani

MATA AIR ILMU PENGETAHUAN

Sementara, tepat di depan masjid Jami An-Nawawi, berdiri 'bai' atau rumah Syekh Nawawi sebelum menetap di Tanah Suci. Rumah bercat hijau itu berukuran 6x8 meter dan sudah berstatus cagar budaya. Oleh warga setempat, rumah dijadikan perpustakaan menyimpan kitab-kitab karya Syekh Nawawi Al Bantani.

Berderet kitab berbahasa arab tersusun rapi pada rak berbahan kayu. Pada dinding perpustakaan kitab itu tertulis, “Di Bumi Inilah, Syekh Nawawi Al Bantani Mencurahkan Inspirasinya.”

Karya Syekh Nawawi Al Bantani dalam berbagai sumber literasi disebut jumlahnya mencapai 40 kitab berahasa arab. Sebanyak 22 kitab masih dirujuk sebagai lliterasi wajib pondok pesantren. Di antaranya, Tijan al-Danari, Marah Labid, Uqul al-Lujayn, Tanqih Qawi al-Hathith, Nasai’ih al-Ibad, dan Nihayat al-Zayn

Kemudian, Qatr al-Ghayth, Maraqi al-Ubudiyah, Fath al-Majid, Qami’ al-Tughyan, Mirqat Su’ud al-Tasdiq, Sulam al-Munajat, Nur al-Zalam, Madarit al-Su’ud, dan Bahjat al-Wasa’il. Termasuk kitab tafsirnya yang sangat fenomenal, Marah Labid.

Baca Juga: Jadi Ikon Wisata Religi Banten, Ini 7 Fakta Menarik Masjid Agung Banten Lama

Sayangnya, kitab-kitab tersebut bukan edisi aslinya. Namun, dari hasil percetakan Darul Fikri, Jakarta. Setiap malam Selasa, warga Kampung Pesisir secara rutin mengaji kitab karya Syekh Nawawi. “Kitab ulama lain juga. Tapi kita dahulukan kitabnya Syekh Nawawi,” aku H Husni.

Setahun menyemai benih pengetahuan di tanah kelahiran, Nawawi kembali berlayar ke Tanah Suci. Melanjutkan pelajaran tingkat mahir di bawah asuhan ulama-ulama ternama pada masanya. Al-syeikh Khatib Sambas, Al-syeikh Abdul Ghani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni adalah beberapa nama ulama tersohor yang menempanya.

Di tanah suci, kitab-kitabnya menjadi menjadi rujukan ulama-ulama se-Nusantara. Penulis Biografi Syekh Nawawi AlBantani, Profesor Tihami menyebut, tidak kurang 22 kitabnya masih dipakai sebagai buku ajar sampai sekarang. Tidak hanya di pondok pesantren, juga perguruan tinggi di Timur dan Barat.

Nama-nama ulama besar pernah mendalami kebijaksanaan dari seorang Syekh Nawawi Al Bantani. Mulai dari KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Khalil Bangkalan, KH Asnawi Kudus, KH Zayn al-Muttaqien Kuningan, M Husein Tasikmalaya, Mustafa Garut, dan ratusan ulama lain.

Ma’la Makkah al-Mukarom menjadi tempat persemayaman hingga akhir hayatnya pada 25 Syawal 1314 H atau 1899 M. Namun, namanya terap harum dari pelosok negeri hingga penjuru dunia.

Syekh Nawawi Al Bantani sebagaimana perumpamaan Prof Tihami, tidak hanya dirujuk sebagai ikon untuk figur intelektual Nusantara. Lebih dari itu, referensi simbolik untuk pencarian jati diri santri Nusantara. Peneliti Belanda Martin van Bruissen menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual ulama. (*)

Editor: Ken Supriyono


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x