SERANG NEWS- Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat edaran terkait penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dikutip SerangNews.com dari akun Instagram @trendingbuzz.id pada Selasa 23 Februari 2021 dikatakan bahwa salah satu isinya adalah penahanan tersangka kasus UU ITE.
Listyo mengingatkan jajarannya, untuk mengedepankan rasa keadilan bagi masyarakat.
Ia juga memerintahkan jajarannya agar tidak melakukan penahanan apabila tersangka dalam kasus tersebut sudah meminta maaf.
Instruksi itu disampaikan oleh Listyo melalui surat edaran Kapolri Nomor: SE/2/11/2021 tentang kesadaran budaya beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang lebih bersih, sehat dan produktif.
Ada 11 poin pada SE tersebut. Pada poin i disebutkan bahwa korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, tersangka tidak dilakukan penahanan.
Termasuk sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali.
Terpisah dilansir dari Pikiran-Rakyat.com, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat edaran (SE) terkait penanganan perkara dalam kasus UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Surat Edaran Nomor SE/2/11/201 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif itu diteken Kapolri pada 19 Februari 2021 ini dikeluarkan Kapolri sebagai respon mengenai UU ITE yang dinilai bersifat karet dan kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi di ruang digital.
Dari surat edaran tersebut, ada 11 poin yang menjadi sorotan dalam penanganan perkara UU ITE.
Berikut 11 poin yang dijadikan sorotan dalam penanganan perkara UU ITE:
a. Mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya.
b. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalah dan dampak yang terjadi di masyarakat.
c. Mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
d. Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil.
E. Sejak penerimaan laporan, penyidik diminta berkomunikasi dengan pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.
f. Melakukan kajian dan gelar prakara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim atau Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolögial berdasarkan fakta dan data yang ada.
Baca Juga: Oknum Petugas Kejari Tangsel Piting dan Cekik Leher Wartawan saat Peliputan
g. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakkan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
h. Terhadap para pihak dan atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice, kecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), radikalisme, dan separatisme.
i. Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan pengadilan namun tersangkanya telah meminta maaf, maka terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali.
Baca Juga: KJMU Tahap 1 Tahun 2021 Dibuka, Begini Alur Pendaftaran dan Persyaratannya
j. Penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaannya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan.
k. Agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.***