Kendati ayahnya seorang ningrat utama Paku Alaman, tapi ia tak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikan anaknya itu.
Putus sekolah, tak membuat Ki Hajar Dewantara patah arang. Ia pun memilih aktif dalam pergerakan nasional untuk menyalurkan ekspresi perjuangannya.
Baca Juga: Kiai Sahal, Trah Prajurit Pengawal Khusus Sultan Hasanuddin dan Guru Syekh Nawawi Al Bantani
Buah pikirannya ia tuangkan melalui berbagai tulisan. Tulisannya, dimuat di berbagai media kala itu. Sebut saja, Sediotomo, Madden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesora.
Pada masanya, ia tergolong penulis andal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial. Selain aktif menulis, Ki Hajar Dewantara juga bekerja di Apotek Rathkamp, Yogyakarta.
Ki Hajar Dewantara menunjukkan ketidaksengannya dengan rencana Pemerintah Hindia Belanda. Ia lakukan protesnya melalui tulisan-tulisan yang tajam menggigit.
Salah satunya, tulisan berjudul ‘Als Ik Een Nederlander Was’ (Jika Aku Seorang Belanda) dan ‘Een Voor Allen maar Ook Allen vor Een’ (Satu untuk Semua, namun Semua untuk Satu juga).
Baca Juga: Puluhan Mahasiswa Diamankan saat Demo Hari Buruh Internasional di Jakarta
Di saat yang sama, Abdul Muis juga menggelorakan boikot atas perayaan yang diadakan Belanda. Yakni acara untuk mengenang seratus tahun terbebasnya Belanda dari penjajahan Prancis.
Boedi Oetomo adalah organisasi pertama yang diikuti Ki Hajar Dewantara atau Suwardi Suryaningrat. Di organisasi yang dipimpin Sutomo itu, ia berada dalam divisi propaganda.