Arsyad Thawil, dari Geger Cilegon hingga Potret 'Dakwah' Toleransi di Tengah Komunitas China dan Nasrani

- 26 April 2021, 12:00 WIB
Walikota Cilegon Helldy Agustian saat berziarah ke makam KH Arsyad Thawil di Manado, Sulawesi Utara.
Walikota Cilegon Helldy Agustian saat berziarah ke makam KH Arsyad Thawil di Manado, Sulawesi Utara. /Dok. Helldy Agustian/

SERANG NEWS – Paska peristiwa Geger Cilegon, Arsyad Thawil dan sejumlah ulama Banten di asingkan ke Manado, Sulawesi Tenggara.

Saat pengasingan inilah, KH Arsyad Thawil berdakwah hingga akhir hayatnya. Dakwah yang ditunjukkan KH Asyad memperilihatkan potret tolerasi antar umat beragam. Baik dengan kalangan etnis China atau Tionghoa dan Nasrani.

Dakwah yang dilakukan Aryad Thawil sangat diterima pemuka China dan Nasrani di Manado. Bahkan, ia mampu mempersatukan perbedaan itu dengan saling menghargai sebagai sesama manusia.

Baca Juga: Sosok Syekh Nawawi Al Bantani, Ulama Kharismatik Banten dan Guru Ulama Nusantara hingga Dunia

Sosiolog Banten HS Suhaedi menyebut KH Arsyad Thawil sebagai tokoh pemersatu saat terjadi konflik-konflik lokal. Ketokohannya, tidak semata-mata diakui komunitas agama Nasrani sebagai agama mayoritas.

Akan tetapi juga dari penganut keyakinan lokal lain yang tumbuh di Manado.

“Arsyad dipandang sebagai sosok yang sanggup mencari soslusi dalam menengahi dan menyelesaikan konflik-konflik sosial di Manado,” katanya dalam satu kesempatan berdiskusi dengan awak SerangNews.com.

Bahkan seorang Kapiten Tionghoa di Manado, Tjin Bie, terkesan dengan kepribadian KH Aryad Thawil. Keduanya bersahabat baik. Dan, Tji Bie-lah yang mula-mula mengajak KH Arsyad pindah dari Airmadidi ke Manado.

Baca Juga: Sosok Kiai Sahal dari Lopang Serang, Guru Pertama Syekh Nawawi Al Bantani

Pengakuan atas kepribadian KH Arsyad dari masyarakat lokal membuatnya tidak mengalami hambatan berarti dalam mengembangkan dakwahnya di Manado.

Ia mampu membangun harmoni dalam keragaman kepercayaan tanpa mengganggu budaya masyarakat lokal.

Masjid Lawangirung yang dibangunnya menjadi tempat relasi sosial keberadaannya. Jejak spiritual itu terasa pada Suhaedi, yang beberapa waktu lalu berkesempatan meneliti diaspora (penyebaran) orang Banten di Manado.

Saat penelitian tersebut, ia sempat bertemu dengan tokoh agama lokal dan pendeta Nasrani. Dari pengakuan pendeta dan tokoh setempat, Suhaedi menemukan adanya sikap toleransi yang tumbuh kembang dengan baik sejak masa kehadiran KH Arsyad.

Baca Juga: Hikmah Ramadhan 13: Membaca Al Quran sebagai Psikoterapi Jiwa dalam Psikologi Nabi Muhammad

“Ya, Tomohon (salah satu Kota di Manado) itu menjadi jejak historis yang kini bisa memberikan penjelasan bagaimana ketokohan humanis ajaran agama dari Arsyad Thawil,” ujar Suhaedi mengenang pengalaman risetnya.

Selain Masjid Lawangirung, KH Arsyad juga membangun masjid di Kumaraka. Tujuh bulan setelah membangun masjid ini, tepatnya pada 20 Maret 1934, KH Arsyad menghembuskan nafas terakhir.

Ia dikebumikan di Pemakaman Lawangirung berdampingan dengan makam Gusti Ratu Sekar Kedaton, Permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono V Yogyakarta, yang juga dibuang Belanda ke Manado. Istrinya, Tarchimah, juga menyusul almarhum tiga tahun berselang.

Makam itu pun kini ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah. Tak terkecuali dari Banten yang masih dalam silsilah darahnya. Ziarah itu bukan saja mendoakan, namun mengenang kepahlawan KH Arsyad.

Baca Juga: Sejarah Awal Orang China Masuk Banten: Temuan Artefak hingga Peranan di Masa Kesultanan Banten

“Pada 2014 rombongan dari Cilegon menapak tilas ke Manado. Momen itu ternyata bisa menyambungkan keluarga di sana. Juga keluarga dari Cibeber (Ki Asnawi-red) yang sudah 126 tahun tidak bertemu. Itu sungguh haru,” kenang Cicit KH Arsyad Thawil, Helldy Agustian yang kini tinggal di Cilegon.

Baginya, Arsyad punya kepribadian yang lengkap. Ia sosok ulama, pedagang, sekaligus pejuang. Perjuangannya memimpin perlawanan pada peristiwa Geger Cilegon menjadi jejak sejarah yang tak bisa dihilangkan.

“Mestinya itu diperingati agar kita tidak melupakan sejarah perjuangan ulama-ulama kita,” kata pria yang kini menjabat sebagai Walikota Cilegon ini.

Dalam catatan Snouck Horgronje yang terbit dalam bentuk buku berjudul Mekka In the Latter Part of the 19th Century, KH Aryad tercatat mampu berbicara bahasa melayu dengan sangat fasih.

Baca Juga: HIKMAH RAMADHAN 4: Keutamaan Mendidik Anak dalam Kitab Tanqihul Qaul Syekh Nawawi Al Bantani

Kemampuan bahasa arabnya kurang fasih, namun ratusan santri dari Sumatera, Priangan, Jawa, dan Banten banyak menimba ilmu darinya selama di MekkaH

Sanad keilmuan Arsyad pun cukup panjang. Sejak kecil mempelajari Alquran hingga hafal dari ayahnya, Imam As'ad bin Mustafa bin As'ad.

Ayahnya juga meletakan dasar ilmu ilmu fikih dan nahwu sebelum akhirnya diberangkatkan ke MekkaH

Di tanah suci, ulama masyhur Syekh Nawawi Albantani, Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, Abu Bakar Sharta al-Dimyati tercatat pernah mengasuh KH Arsyad Thawil.

Kedalaman ilmu hadisnya ditempa dari asuhan ulama hadis Syekh Muhammad bin Husain al-habsyi al-Makki, dan Syekh Husain. Sementara, kedalaman ilmu fikihnya didapat dari bimbingan Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki.***

Catatan: Artikel ini memiliki bagian I. Selengkabnya Baca Juga: Sosok Arsyad Thawil, Tokoh Geger Cilegon dan Jalan Dakwah di Pengasingan Kota Manado [Bagian I]

Editor: Ken Supriyono


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x