Mengenal Vihara Avalokitesvara: Tempat Perayaan Imlek dan Jejak Toleransi Budaya Masyarakat di Banten

- 11 Februari 2021, 05:00 WIB
Patung Dewi Kwan Im di Vihara Avalokitesvara, Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten.
Patung Dewi Kwan Im di Vihara Avalokitesvara, Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten. /Ken Supriyono/SERANG NEWS/

SERANG NEWS - Vihara Avalokitesvara menjadi salah satu jejak keberadaan China atau komunitas Tionghoa di Provinsi Banten.

Selain tempat persembahyangan dan perayaan Imlek, vihara ini sarat simbol toleransi dan persemaian keberagaman budaya di tanah Kesultanan Banten.

Harum dupa menyengat di beranda wihara yang di gerbangnya bertuliskan 'Kwan In Pho Sat, semoga pancaran welas asih selalu menyertai hidup kita'. Tulisan itu diapit dua naga saling berhadapan.

Baca Juga: Sejarah Imlek dan Komunitas Tionghoa di Indonesia, Suram saat Orde Baru, Merdeka di Masa Gus Dur

imlekBaca Juga: Legenda Kisah Inspeksi Dewa Dapur saat Imlek 2021, Ini Alasan Mengapa Ada Kue Kerancang sebagai Sajian Khas

Menjelang Imlek tiba, Vihara Avalokitesvara yang dominan dengan ornamen merah kuning ini, tampak cerah. Suasana belum terlalu ramai, meski tetap ada beberapa warga Tionghoa melakukan persembahyangan di vihara Dewi Kwan Im.

Tepat di hadapan Dewi yang dipercaya sebagai translasi dari Avalokitesvara Bodhisattva itu, dipenuhi sesaji mulai bunga, buah-buahan, lilin merah, dan dupa.

Sementara, di kanan kiri sosok yang dikenal sebagai Dewi Welas Asih, dikelilingi 11 ruang persembahyangan. Di antaranya, Wi Tho Sat, Kwan Kong, Cali Kun Kong, dan Thi Cang Wang.

Baca Juga: Sejarah Awal Orang China Masuk Banten: Temuan Artefak hingga Peranan di Masa Kesultanan Banten

Secara keseluruhan, ada 16 ruang persembahyangan para dewa. Lima lainnya berada di altar 12 atau bagian belakang.

Akses menuju altar itu berada di bagian kiri. Berbentuk seperti lorong, tembok, akses itu penuh dengan relief kisah dalam bentuk pahatan patung. Di dinding sebelah relief, satu informasi dalam pigura cokelat.

Dalam informasi itu tertulis sepenggal kisah tentang satu babak perjalanan wihara. Yakni kisah tentang meletusnya Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883.

Setelah melewati lorong relief itu, pengunjung akan sampai pada bagian tengah vihara. Di bagian ini terdapat semacam asrama atau penginapan yang di sisi pojoknya terdapat sumber mata air. Tak jarang, pengunjung yang datang membersihkan diri atau sekadar mencuci muka.

Baca Juga: 15 Kado Imlek yang Diyakini Mendatangkan Keberuntungan di Tahun Kerbau 2021

Baca Juga: Jadi Simbol Kekayaan dan Keberuntungan, Ini Enam Jenis Jeruk yang Populer saat Perayaan Imlek

Bagian tengah ini tampak indah karena terdapat taman yang penuh dengan pepohonan rindang. Terlebih, dilengkapi gazebo cukup besar dan beberapa kursi-kursi untuk bersantai.

Sementara, di bagian belakangnya tersimpan joli atau tandu yang bisa diusung pada waktu berlangsungnya perayaan tahun baru Imlek. Selain itu, di kompleks ini terdapat Sekolah Agama Buddha yang diperuntukkan bagi anak-anak.

Dari ruang tengah ini, pengunjung bisa kembali keluar lewat sisi kanan wihara. Sebelum keluar dari area wihara, pengunjung bisa menikmati perpustakaan di sayap kanan.

Perpustakaan banyak berisi mantra-mantra persembahyangan seperti Dharma Pitaka, Giok Ilong dan Te Boatau Chi Thein Sen Fo Cu Cen Ching yang mengajarkan dharma untuk keselataman dan kebaikan bagi semua manusia.

Baca Juga: Imlek 2021, Nian Go atau Kue Keranjang Selamatkan Banyak Orang dari Kelaparan

Informasi dari sumber yang saya dihimpun, vihara ini tidak bisa dilepaskan dari sosok Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal Sunan Gunung Jati.

Sebab, menurut On Kim yang dikutip dari buku Etnis Cina di Banten karya Suhaedi bersama Yanwar Pribadi, Ade Fakih Kurniawan dan Dede Sunardi, Vihara Avalokitesvara dibangun Ong Tien Nio, seorang keturunan Tionghoa yang merupakan istri Sunan Gunung Jati.

Sumber tersebut menyebut Vihara ini berdiri sejak abad ke-16 atau tahun 1542. Awalnya, lokasi wihara berada di Desa Dermayon. Lalu, dipindahkan pada 1774 ke lokasi yang sekarang ini.

“Sebagai bentuk penghormatan atas pendiri patung ini, patung Ong Tien Nio ditempatkan tepat di depan patung Dewi Kwan Iim di tempat pemujaan,” kata Sosiolog Banten H.S. Suhaedi.

Baca Juga: Sejarah Oeridab, Uang Banten di Masa Darurat Pemerintahan Indonesia (2) Desain Jenis Pecahan Uang

Menurutnya, Vihara Avalokistesvara ini tidak hanya sekadar bangunan bersejarah atau tempat ibadah.

“Keberadaannya menjadi simbol masyarakat Banten masa itu mampu mewariskan keharmonisan dalam menghadapi perbedaan yang ada,” ujar staf pengajar di Universitas Sultan Maulana Hasanuddin Banten ini.

Menjelang Imlek datang Vihara Avalokitesvara biasanya lebih ramai dari hari biasanya.

Di bagian lain, sejarawan Banten Mufti Ali mengatakan, wihara ini bentuk dari perhatian Kesultanan Banten kepada warga Tionghoa. Terlebih, seiring ramainya mereka datang ke Banten, banyak nonpedagang seperti rohaniawan yang ikut masuk ke Banten.

Baca Juga: Jejak Bersejarah Hotel Voos di Kota Serang (1) Dijadikan Makodim sampai Berganti Mal

“Di tengah kesibukan dagang mereka butuh media mencurahkan spiritualnya. Makanya mereka datang untuk mendakwahkan itu, atau paling tidak untuk komunitasnya,” kata Mufti.

Keberadaan Vihara Avalokitesvara, lanjut Mufti, menjadi bukti bahwa Kesultanan Banten dan warga Banten pada umumnya bisa menerima perbedaan.

“Ini bukti bahwa kebudayaan dan keyakinan lain bisa hidup harmonis di Banten,” kata doktor Leiden University Belanda ini.

Menurutnya, bangsa dan kerajaan apa pun akan bisa menjadi besar jika menerima perbedaan dan keberagamaan budaya. Di Banten salah satunya diperlihatkan dari jejak keberadaan Vihara Avalokitesvara yang hingga kini masih berdiri megah.***

Editor: Ken Supriyono


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x