Medan Prijaji berdiri nyaris beesamaan lahirnya Sarekat Prijaji di tahun 1907. Sebelum Boedi Oetomo berdiri, Tirto sudah mendeklarasikan organisasi yang bertumpu pada penguatan Pendidikan dengan lima program utama: rumah pemondokan siswa, taman kanak-kanak, lembaga pengumpil dana, beasiswa, taman-taman bacaan.
Baca Juga: Artis Dewi Yull Ternyata Cicit Dari Bapak Pers Nasional Tirto Adhi Soerjo
Sarekat Prijaji belum berkembang maksimal, Tirto mulai sibuk ikut BO. Ia menjadi pengutus BO cabang Bandung. “Lantaran BO tidak bisa mengakomodasi pedagang-pedagang Islam, Tirto mebidani lahirnya Sarekat Dagang Islamiah (SDI),” sebut Muhidin.
Dalam praktiknya, SDI Cabang Surakarta justru lebih berkembang daripada SDI Pusat di Bogor. SDI Surakarta inilah yang dioper ke Surabaya dan lahirlah Raja Jawa tanpa makhkota HOS Tjokroaminoto.
Jalan Advokasi
Jalan pergerakan dan pers kemudian mengisyafkan Tirto betapa bahayanya posisi jurnalis di hadapan kekuasaan. Jurnalis tidak boleh tidak harus peduli dan paham hukum untuk membela dirinya, membela keudukan korannya, dan sekaligus membela masyarakat yang dirugikan. Terbukti posisinya sebagai pengawal pikiran umum membawa konsekuensi dirinya berhadapan dengan kepentingan pejabat.
Acapkali Tirto turun langsung membela petani, tetapi lain kali ia kena cambuk di jalanan oleh centeng-centeng penguasa.
Atas tulisan-tulisannya, beberapa kali Tirto berperkara di landraad dan dijatuhi hukum pembuangan. Seakan sudah diprediksi bahwa kaum jurnalis yang berpihak pada publik ‘yang diperintah’ rawan kena delik, koran bernama Soeloeh Keadilan menjadi signifikan.
“Koran ini monumen bahwa Tirto benar, ia digilas hukum dan pasal karet bikinan Belanda,” cetus Muhidin. ***