Tujuh Jalan Perjuangan Tirto Adhi Soerjo, dari Jurnalis, Dokter hingga Pergerakan Kebangsaan

- 7 Desember 2020, 13:08 WIB
Pimred Serangnews bersama Penulis Biografi Tirto Adhi Seorjo Muhidin M Dahlan dan Cicit Tirto Adhi Soerjo saat haul Tirto Adhi Soerjo di Kota Serang tahun lalu.
Pimred Serangnews bersama Penulis Biografi Tirto Adhi Seorjo Muhidin M Dahlan dan Cicit Tirto Adhi Soerjo saat haul Tirto Adhi Soerjo di Kota Serang tahun lalu. /Ken Supriyono/Dok. Journalist Lecture/

SERANG NEWS - “Tuan Tirto Adhi Soerjo, lantas meletakkan kalamnya dan sekarang malah mengaso buat selama-lamanya”. Penggalan kalimat terakhir artikel berjudul Mangkat ini, menutup rangkaian haul Tirto Adhi Soerjo yang dibaca serentak awak Journalist Lecture setahun lalu.

Tulisan pendek itu karya Mas Marcodikromo, murid ideologis Tirto dalam jurnalistik dan pergerakan. Kalam penghormatan kepada sang guru yang dipublikasikan lewat Djawi Hiswara, pada 13 Desember 1918, satu pekan setelah meninggalnya Tirto, pada Sabtu 7 Desember 1918 yang dimakamkan di Manggadua, Jakarta.

Jejak Tirto cukup berliku. Lahir dari trah bangsawan bernama Raden Mas Djokomono di Blora, 1880. Ia bersekolah di STOVIA, sekolah dokter masa kolonial. Akan tetapi, memilih jalan hidup mengabdi pada bangsanya lewat jalan jurnalistik dan pergerakan.

Baca Juga: Tirto Adhi Soerjo dalam Ingatan Tulisan ‘Mangkat’ Mas Marco Kartodikromo

Bakat menulisnya dimulai sebagai penulis lepas di pelbagai surat kabar. Lalu, membantu berbagai surat kabar. Di antaranya, Kabar Hindia Olanda yang dipimpin Alex Regensburg, Pembrita Betawi pimpinan Overbeek Bloem, dan Pewarta Priangan di Bandung.

Sejarawan Muhidin M Dahlan menyebut, Tirto bukan sekadar jurnalis. Ia juga seorang penggerak awal pergerakan nasional yang mendirikan Sarekat Priyayi pada 1906 dan perumus Sarikat Dagang Ismiah (SDI).

Sayang, perjuangan Tirto sebagai pelopor pers dan pergerakan awal nasional seperti hilang ditelan bumi. “Nama dan seluruh amalnya menghilang dalam belantara memori pergerakan awal kebangsaan karena gerakan politik arsip yang terorganisasi rapi,” kata penulis karya lengkap Tirto yang diterbitkan pada 2009.

Nama Tirto pun tak pernah disebut dalam teks-teks buku sejarah Indonesia yang diajarkan pada sekolah-sekolah. Berpendar-pendar kemudian pada tahun 50-an, sastrawan terkemuka Pramoedya Ananta Toer kembali menghidupkan imajinasi tentang Tirto.

Pramoedya dalam karya Sang Pemula menyebutnya dengan sebutan Bapak Pers Nasional. Selain Sang Pemula, Pramoedya juga menulis lewat empat serial Tetralogi Pulau Buruh: Bumi Manusia, Semua Anak Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Halaman:

Editor: Ken Supriyono

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x