Pakaian aneh yang dikenakan Tirto, blankon dan dasi kupu-kupu adalah hasil dialektika yang keras di STOVIA. Bayangkan priyayi rendah seperti wedana tidak boleh memakai pakaian Eropa. Sementara itu, anak-anak bupati diperbolehkan. Melawan diskriminasi itu, jadilah Tirto Adhi Soerjo berpakaian ‘aneh’. Kepala Jawa, leher dan badan Eropa, sementara kumis Turki.
“Pakaian dan fashion itu sesungguhnya olok-olok seorang mahasiswa radikal atas aturan jajalan dalam lingkup persekolahan,” kata Muhidin M Dahlan.
Jalan Jurnalistik
Dokter yang menulis menjadi jalan besar Tirto Adhi Soerjo. Jalan dokter adalah jalan pelayanan yang memiliki previlese merasakan langsung sesaknya dada kaum terprentah. Bagi Tirto, itu tidak cukup. Suaranya mestilah punya gaung yang luas hingga daratan Eropa.
“Untuk menunjukkan keseiusan di bidang ini, Tirto memutuskan DO dari Stovia dan mula-mula menjadi jurnalis Pembrita Betawi. Di Koran orang Belanda itu, ia meraih jabatan sebagai redaktur kepala,” ucap Muhidin.
Tirto ingin ada koran yang dipimpin dan diongkosi Bumiputra. Maka pada 1903 mendirikan Soenda Berita sebagai percobaan awalnya. Lalu menyusul Medan Prijaji, Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia.
Baca Juga: Tirto Adhi Soerjo, Jejak Bapak Pers sekaligus Pahlawan Nasional
Nama-nama koran lain lain yang turut diurus Tirto adalah Sri Paoendan (editor), Pantjaran Warta (Pimred), Militiar Djawa (editor), Saratomo (rekdatur kepala), De Malesche Pers (redaktur), Pewarta Staatspoor (editor, redaktur) Soeara B.O.W (editor, redaktur) dan Soeara Pegadaian (editor).
Bagi Tirto, jalan jurnalistik adalah jalan pewartaan sekaligus menyuluh dan menjadi medan penyadaran politik. Sejak awal terjun secara professional di bidang jurnalis, Tirto sudah memiliki kesadaran ini. Bahwa (1) ada dua golongan manusia, yakni yang memerintah dan diperintah, (2) golongan kedua hidupnya tidak lepas dari penindasan dan hisapan dari golongan pertama, (3) pers adalah alat untuk melawannya dan langkah awalnya dia harus memiliki penerbitan sendiri.