Menurutnya, penggiat atau dukun santet atau ahli sihir dalam realitasnya wajib bersekutu dengan jin, iblis, dan syetan, sebagai syarat untuk memperoleh bantuan kesaktianya mengirim media santet dimaksud
kepada yang dituju (korban).
Baca Juga: Hari Musik Nasional, Silverian 86 Menggelar 'Big Bang Indonesia'
Korban santet akan merasakan sakit (non medis), kecelakaan serta menderita (lahir batin), bahkan sampai ajalnya tiba (kematian).
"Santet tidak dapat dibuktikan dalam proses (sidang) pengadilan sebagai sebuah tindakan kejahatan (melawan hukum)," ucapnya.
Bahkan, pegiat Forum Komunikasi Paranormal dan Pengobatan Alternatif se Indonesia (FKPPAI) sudah pernah mengajukan pentingnya RUU tentang santet ke DPR RI. Namun, gagal disahkan, karena kesulitan proses pembuktiannya.
"FKPPAI yang kami dirikan pada waktu itu untuk pertama kalinya terpilih Ki Ageng Mas'ud Thoyib sebagai Ketua Umum, dan dideklarasikan di gedung pencak silat TMII Jakarta, serta dihadiri sekira 367 peserta," tutur Amas yang juga menjadi salah satu pesertanya.
Baca Juga: Babak 16 Besar Liga Champions, Juventus vs Porto, Ambisi Ronaldo Bidik Rekor Baru
"Mewakili DKI Jakarta, Banten, Jatim, Jateng, Jabar, Lampung, DIY, dan pulau Sumatera, turut serta hadir diantaranya Ki Joko Bodo, Ustad Azis Pemburu Hantu, Toro Margen, Mama Lauren, dan sederet tokoh daerah lainya," tambahnya.
Fakultas Santet
Sejatinya, ujar Amas, santet bisa saja pembuktian tindak pidana kejahatannya dibuktikan di pengadilan, dilakukan melalui pendapat atau keterangan ahli (pakar). Tetapi, ahli tentang sesuatu merupakan produk perguruan tinggi, sayangnya hingga hari ini belum ada perguruan tinggi yang membuka fakultas jurusan santet.