Pendirian OSVIA tidak lepas dari kebutuhan Pemerintah Belanda, tetapi memanfaatkan sistem aristokrasi yang ada dari keluarga bangsawan untuk menjalankan administrasi kolonialnya. Sifat eksklusif golongan sosial dijaga.
Caranya, dengan memberikan jabatan-jabatan yang tinggi hanya kepada para kerabat raja saja. Lalu, menunjukkan hubungan kekerabatan tersebut sebagai syarat siswa sekolah untuk pegawai pangreh praja.
Baca Juga: Sejarah Awal Orang China Masuk Banten: Temuan Artefak hingga Peranan di Masa Kesultanan Banten
Lantaran itu, Dadan menduga, banyak bupati masa itu yang sebenarnya kalangan masyarakat biasa. Namun, setelah Belanda mengangkatnya sebagai pejabat, yang bersangkutan mengubah namanya dengan tambahan gelar.
Kata Dadan, banyak bupati di Banten yang mengaku berasal dari keturunan Siliwangi dan Sultan Banten. Padahal, asal muasal tidak jelas dan tidak bisa dibuktikan. “Di Banten sangat sedikit para bupati yang dari Banten, kebanyakan dikirim dari Priangan,” katanya.
Seiring perubahan yang terjadi, pemerintah Hindia Belanda melakukan reformasi di bidang birokrasi. Pada tahun 1915, prinsip pewarisan jabatan dihapuskan. Alasannya, tidak sesuai lagi dengan birokrasi modern.
Baca Juga: Jadi Ikon Wisata Religi Banten, Ini 7 Fakta Menarik Masjid Agung Banten Lama
“Sistem ini membuat seseorang untuk menjadi bupati tidak harus dari kalangan bangsawan,” katanya.
Pandangan Dadan dipertegas tulisan Usmeadi dalam buku Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi untuk Pangreh Praja Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Serang Banten tahun 1900-1927.
Usmeadi menyebut, pemerintah Hindia Belanda menerapkan peraturan baru. Yakni, seorang calon bupati harus memenuhi syarat-syarat seperti cakap, rajin, loyal, mampu berbicara bahasa Belanda.