Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Bagian I: Kisahnya Tak Tamat Sekolah dan Dibuang ke Belanda

- 1 Mei 2021, 22:22 WIB
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional.
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional. /Buku Tematik SD/

SERANG NEWS – Peringatan Hari Pendidikan Nasional pada setiap 2 Mei, akan selalu mengingatkan nama Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

Ya, nama Ki Hajar Dewantara terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dialah Babak Pendidikan Nasional, yang atas dedikasi dan perjuangan, namanya abadi kenang dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Namun, siapa sangka, Ki Hajar Dewantara yang lahir dari trah Bangsawan utama Paku Alaman, pernah merasakan kesulitan biaya sekolah hingga membuatnya tak tamat.

Bagaimankah kisahnya?

Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1899 dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ia bangsawan dari Paku Alaman Yogyakarta. Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Suryaningrat, yang tak lain akan dari Paku Alam III.

Baca Juga: Tirto Adhi Soerjo, Jejak Bapak Pers sekaligus Pahlawan Nasional

Setamat dari ELS (Europesche Legere School atau sekolah dasar Belanda), Ki Hajar Dewantara meneruskan pendidikan ke sekolah guru. Namun ia tidak sampai tamat.

Pada 1905, ia bersekolah di Sekolah Dokter Boemi Putra atau yang dikenal dengan nama STOVIA (School Tot Opleding Van Inlandshe Aartsen).

Tapi, lagi-lagi bangsa Paku Alaman muda itu, tidak sampai tamat karena beasiswanya dicabut setelah ia gagal menyelesaikan ujian kenaikan tingkat.

Kendati ayahnya seorang ningrat utama Paku Alaman, tapi ia tak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikan anaknya itu.

Putus sekolah, tak membuat Ki Hajar Dewantara patah arang. Ia pun memilih aktif dalam pergerakan nasional untuk menyalurkan ekspresi perjuangannya.

Baca Juga: Kiai Sahal, Trah Prajurit Pengawal Khusus Sultan Hasanuddin dan Guru Syekh Nawawi Al Bantani

Buah pikirannya ia tuangkan melalui berbagai tulisan. Tulisannya, dimuat di berbagai media kala itu. Sebut saja, Sediotomo, Madden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesora.

Pada masanya, ia tergolong penulis andal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial. Selain aktif menulis, Ki Hajar Dewantara juga bekerja di Apotek Rathkamp, Yogyakarta.

Ki Hajar Dewantara menunjukkan ketidaksengannya dengan rencana Pemerintah Hindia Belanda. Ia lakukan protesnya melalui tulisan-tulisan yang tajam menggigit.

Salah satunya, tulisan berjudul ‘Als Ik Een Nederlander Was’ (Jika Aku Seorang Belanda) dan ‘Een Voor Allen maar Ook Allen vor Een’ (Satu untuk Semua, namun Semua untuk Satu juga).

Baca Juga: Puluhan Mahasiswa Diamankan saat Demo Hari Buruh Internasional di Jakarta

Di saat yang sama, Abdul Muis juga menggelorakan boikot atas perayaan yang diadakan Belanda. Yakni acara untuk mengenang seratus tahun terbebasnya Belanda dari penjajahan Prancis.

Boedi Oetomo adalah organisasi pertama yang diikuti Ki Hajar Dewantara atau Suwardi Suryaningrat. Di organisasi yang dipimpin Sutomo itu, ia berada dalam divisi propaganda.

Ia aktif menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia, terutama Jawa ketika itu, untuk mengenal pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Termasuk, melalui kongres Boedi Oetomo di Yogyakarta yang dimobilisasi olehnya pada 3-5 Oktober 1908.

Dalam perjalannya, Suwardi Suraningrat menjadi anggota redaksi De Expres yang dipimpin Danudirja (Douwes Dekker) dan Cipto Mangunkusumo pada 1911.

Baca Juga: Nyi Arnah, Murid Syekh Nawawi Al Bantani dan Ulama Perempuan Pertama Banten yang Mengajar di Mekah

Setahun kemudian, tepatnya pada 25 Desember, mereka bertiga, kelak dikenal sebagai tiga serangkai.

Mereka lantas mendirikan organisasi pertama yang bergerak dalam bidang politik dengan tujuan mencapai Indonesia merdeka, bernama Indiche Parji (IP) di Bandung.

Organisasi yang dibentuk tiga serangkai ini bersifat progresif. Dampaknya, Pemerintah Kolonial Belanda menolak untuk memberikan badan hukum. Selain itu, pemerintah mulai ketat mengawasi mereka karena dianggap berbahaya.

Program yang digagas Insiche Parji adalah, menanamkan rasa cinta bangsa dan tanah air, mencegah terjadinya perselisihan antar suka, dan antar umat beragama. Kemudian, berusaha untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Indonesia.

Karena aktivitas politik mereka menunjukkan perlawanan kepada Pemerintah Hindia Belanda, ditambah tulisannya ‘Als Ik Een Nederlander Was’, dalam surat kabar De Expres, Pemerintah di bawah Gubernur Jenderal Idenburg menangkapnya.

Semula Ki Hajar Dewantara akan diasingkan ke Pulau Bangka. Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo memprotes penangkapan tersebut. Akibatnya, mereka ikut ditangkap.

Sampai akhirnya, tiga serangkai itu, diasingkan ke Negeri Belanda selama 6 tahun (1913-1919).

Di negeri pembuangannya, Ki Hajar Dewantara tidak tinggal diam. Ia tetap aktif dalam organisasi pelajar asal Indonesia, Indische Vereeninging (Perhimpunan Hindia).

Selain juga, ia memanfaatkan waktunya untuk belajar ilmu pendidikan hingga akhirnya mendapatkan Euroeesche Akte (Akta Guru Eropa).

“Ijazah pendidikan yang bergengsi, yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya,” tulis Gamal Komandoko dan tim penyusun buku Atlas Pahlawan Nasional yang diterbitkan PT Buku Kita dan dikutip SerangNews.com.***

Editor: Ken Supriyono


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x