Sosok Arsyad Thawil, Tokoh Geger Cilegon dan Jalan Dakwah di Pengasingan Kota Manado [Bagian I]

26 April 2021, 05:00 WIB
Walikota Cilegon Helldy Agustian saat berziarah ke makam Arsyah Thawil di Manado,Sulawesi Utara. (Foto diambil sebelum pandemi Covid-19) /Dok. Pribadi Helldy Agustian/

SERANG NEWS - Peristiwa 1888 atau yang terkenal sebagai Geger Cilegon, tercatat sebagai tapak sejarah heroisme para ulama Banten yang bernama Asyad Thawil.

Dari peristiwa Geger Cilegon, banyak ulama Banten yang diasingkan Pemerintah Kolonial. Tak terkecuali, KH Arsyad Thawil, sebagai tokoh kunci yang sampai akhir hayatnya ada di tanah pengasingan, di Kota Manado.

Seruan takbir menggema di sudut-sudut perkampungan Cilegon dan sekitarnya. Semangat jihad melawan kolonial sudah terpatri. Tak ada keraguan lagi bagi ulama memimpin barisan massa.

Baca Juga: Sosok Kiai Sahal dari Lopang Serang, Guru Pertama Syekh Nawawi Al Bantani

Pekik takbir menggugah semangat tempur. Perjuangan meletus pada 8 hingga 30 Juli 1888. Dengan gagah berani, KH Arsyad Thawil bersama ulama lainnya, berada pada barisan massa mengobarkan jihad mengeyahkan antek-antek Belanda di Cilegon.

Peristiwa tersebut puncak dari rangkaian proses konsolidasi para ulama sejak Februari sampai Mei, di Serang, Cilegon, dan Tanara.

Laporan Penasehat Pemerintah Kolonial Snouck Horgronje mencatat, delapan kali rapat persiapan pemberontakan dilakukan. Enam kali dihadiri Arsyad Thawil.

Rapat-rapat itu dilaksanakan berpindah-pindah tempat. Dua kali di rumah H Marjuki Tanara dan dua kali di rumah H Wasid Beji-Bojonegoro, Serang.

Baca Juga: Ada Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan, Ini Murid Syekh Nawawi Al Bantani dan Spirit Perjuangan dari Mekkah

Selebihnya di rumah H Asngari Terate, H Iskak Saneja-Cilegon, H M Sangadeli Kaloran-Serang, dan H Asnawi Bendung-Lempuyang Tanara.    

Sayangnya, perjuangan terencana dan penuh heroisme hingga titik darah penghabisan itu kandas. Bala tentara Belanda berhasil memukul mundur. KH Arsyad Thawil dan tokoh-tokoh kunci lainnya tertangkap.

Sartono Kartodirjo yang meneliti peristiwa Geger Cilegon mencatat, KH Aryad Thawil bersama 204 pasukannya yang tertangkap. Mereka pun diajukan ke dalam Pengadilan dengan tuduhan makar.

Baca Juga: Jadi Ikon Wisata Religi Banten, Ini 7 Fakta Menarik Masjid Agung Banten Lama

Pengadilan Belanda memutuskan, 89 orang dihukum kerja paksa selama 15 sampai 20 tahun. Sebelas orang dihukum mati, dan hanya 94 orang yang kembali dibebaskan. Sementara, KH Aryad Thawil bersama tujuh orang lainnya diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara.

BERDAKWAH DI PENGASINGAN

Selama di pengasingan, penguasaan KH Arsyad terhadap agama yang komplit menjadi bekalnya. Sepanjang hayat hidupnya di pengasingan, tercurah untuk mendawahkan nilai-nilai Islam.

Di daerah Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara, pula ia menikahi seorang wanita beranak satu dari keluarga Runtu, atau tokoh pendeta yang bernama Liena Runtu.

Baca Juga: HIKMAH RAMADHAN 7: Keutamaan Sholawat atas Nabi Muhammad SAW dalam Tanqihul Qaul Syekh Nawawi Al Bantani

Liena Runtu lantas masuk Islam dan berganti nama menjadi Tarchimah. Sikap ini diikuti anaknya, Maria Runtu yang berganti nama menjadi Maryam.

“Konon untuk hidup di pengasingan, Ki Arsyad berjualan cincau sirup dan agar-agar di depan rumahnya,” kata Sejarawan Banten, Mufti Ali dalam satu kesempatan diskusi dengan awak SerangNews.com.

Keluasan ilmu, pengalaman, dan kearifan, membuat KH Arsyad disegani masyarakat Airmadidi. Tak jarang masyarakat yang berkonflik di sekitar tempat tinggal berkonsultasi kepada kiai karismatik, kelahiran 12 dzulqa'dah 1255 H, di Tanara, Kabupaten Serang.***

*Catatan: Artikel ini masih bersambung ke bagian 2.

Editor: Ken Supriyono

Tags

Terkini

Terpopuler