Tulisannya menggambarkan lapangan di dalam kompleks istana serta pintu-pintu yang dijaga dan sebuah pendopo.
Baca Juga: Sejarah Asal Asul Kesultanan Banten dan Daftar Sultan Banten Pertama hingga Terakhir
Sementara, kronik Sajarah Banten (pupuh/bab 44) yang diterjemahkan praktisi Sejarah Banten Yadi Ahyadi, lebih detail menggambarkan istana raja di medio akhir masa kepemimpinan Sultan Abulmafakir (kakek Sultan Agung Tirtayasa).
“Di sebelah selatan lapangan terdapat Srimanganti tempat tamu-tamu raja biasanya menunggu sebelum diterima,” tulis Yadi yang menerjemahkan kronik yang aslinya tertulis dalam aksara Arab Pegon dan berbahasa Jawa kawi.
Memasuki kompleks yang sesungguhnya terdiri dari sejumlah pelataran dan bangunan yang disebut made, sebuah kampung bernama candi raras, kantor bendahara istana, dan masjid pribadi raja yang mempunyai sebuah menara.
Lalu, meriam terkenal yang bernama Ki Jimat, kandang kuda, dan tempat penjagaan di beberapa sudut istana.
Catatan tamu raja yang bernama Tavenier, yang catatannya juga dikutip Guillot menggambarkan suasana istana pada 1648. Tavenier mengaku diterima raja di pendopo yang tiang penyangganya berjarak 40 kaki, satu dengan lainnya.
Prediksi Guillot, pendopo ini adalah balai penghadapan di area terbuka umum di istana. Biasanya, raja duduk di atas sejenis kursi kayu berukiran dan dilapisi emas bagaikan bingkai lukisan.
Pendopo berada di sebuah lapangan berbentuk bujur sangkar dengan para dayang dan prajurit yang duduk di bawah kerimbunan beberapa pohon.