Sultan-sultan setelahnya, tak lebih hanya sekadar kaki tangan. Terlebih seiring menguatnya peran Bandar Batavia. Pamor Banten terus surut.
AKHIR CERITA
Senjakala Surosowan tak lagi terhindarkan. Ditambah perseteruan Sultan Aliyudin II dengan Gubernur Jenderal H.W Daendels yang berakhir genjatan senjata.
Musababnya, penolakan Sultan pada kekuasaan Daendels. Sang penguasa baru Belanda di Hindia Belanda dibuat murka.
Baca Juga: Wisata Religi Banten, Ziarah ke Makam Pangeran Jaga Lautan di Pulau Cangkir
Sultan enggan kirimkan seribu pekerja untuk pembangunan pangkalan militer di Ujung Kulon. Apalagi menyerahkan Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia, dan memindahkan keraton ke Anyar.
Alih-alih memberi ultimatum melaui Philip Pieter Du Puy, Daendels justru menerima kabar terbunuhnya utusan itu di gerbang Keraton Surosowan. Kemarahan tak lagi terbendung.
Serangan dilancarkan hingga mempora-porandakan Keraton Surosowan. Buntutnya, Sultan Muhammad Ishak Zainul Mutaqqin tertangkap. Ia dijebloskan ke penjara di Batavia. Lalu, diasingkan di Ambon sampai akhir hayat.
Sementara, Patih Mangkubumi Wargadiraja dihukum pancung. Jasadnya dibuang ke tengah laut.
Peristiwa 21 November 1808 menandai keruntuhan Surosowan. Banten pun tak lagi bangkit hingga benar-benar dihapus jejaknya oleh 1813 oleh Thomas Stamford Raffles. Akhir cerita kebesaran Kesultanan Banten hanya tersisa rerentuhan artefak yang terkubur.