Baca Juga: Mewarisi Spirit Raden Mas Tirto Adhi Soerjo
Setelah lulus ELS, Tirto yang berusia sekira 13-14 tahun pindah ke Betawi dan melanjutkan ke HBS (Hogeere Burger School). Lalu melanjutkan sekolah dokter Jawa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artchen).
“Tirto tak tamat sekolah dokter, hanya sampai tingkat 4 dengan 3 tahun kelas persiapan,” tulis Muhidin M Dahlan dalam buku ‘Karya-kaya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan.’
Tirto terlanjur cinta pada dunia tulis menulis. Pada 1894-1985, Tirto sudah mengirimkan pelbagai tulisan ke sejumlah surat kabar terbitan Betawi dalam Bahasa Melayu dan Betawi.
“Masa inilah yang menjadi titik tolak karir Tirto menjadi seorang jurnalis, penulis, sekaligus pejuang pergerakan nasional,” sebut penulis Seabad Pers Pegerakan dan 1001 Saksi Mata Sejarah Republik itu.
Akhir abad 19, semangat pembentukan kesadaran berbangsa kian berapi. Gerakan rakyat tampil dalam banyak bentuk. Mulai dari surat kabar, jurnal, rapat dan pertemuan, serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, nyanyian hingga pemberontakan.
Baca Juga: Masa Pembuangan dan Akhir Kisah 'Jalan Sunyi' Bapak Pers Indonesia Tirto Adhi Soerjo
Baca Juga: Jejak Bersejarah Hotel Voos di Kota Serang (1) Dijadikan Makodim sampai Berganti Mal
Fenomena itu, ditulis Takashi Shiraishi dalam buku ‘Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926’, menjadi hal yang paling mencolok bagi orang Belanda untuk melihat kebangkitan Bumiputra pada awal abad ke-20.
Menurutnya, pergerakan nasional yang dipahami dalam histiografi ortodoks dari Indonesia pasca-merdeka adalah perjalanan “embrio bangsa” dalam mencari namanya Indonesia.