SERANG NEWS - Seorang gadis berusia 19 tahun dilaporkan tewas saat demonstrasi menolak Kudeta Militer di Myanmar.
Gadis yang diketahui bernama Angel alias Kyal Sin itu meniggal dunia setelah tertembak di bagian kepala oleh militer Myanmar pada Rabu, 3 Maret 2021.
Saat melakukan aksi demonstrasi, gadis itu terlihat memakai kaos bertuliskan 'Every thing will be OK'.
Baca Juga: Setelah 'Hari Paling Berdarah', Aktivis Myanmar Ancam Demonstrasi Lebih Besar Lawan Kudeta Militer
Kyal Sin merupakan salah satu dari 54 orang yang tewas sejak Kudeta Militer di Myanmar pada Februari 2021. Lebih dari 1.700 orang ditangkap, termasuk 29 wartawan.
Selain mengenakan kaos bertuliskan 'Every thing will be OK, ia juga meninggalkan surat yang meminta agar organnya didonasikan.
Baca Juga: Revolusi Jas Putih, Pelajar dan Dokter di Myanmar Ancam Aksi Lebih Besar Tolak Pemilihan Ulang
Kepala Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Michelle Bachelet meminta pasukan keamanan untuk menghentikan tindakan keras tersebut terhadap pengunjuk rasa.
"Militer Myanmar harus berhenti membunuh dan memenjarakan pengunjuk rasa," kata Bachelet dikutip SerangNews.com dari Reuters pada Kamis, 4 Maret 2021.
Baca Juga: Upaya Diplomatik Indonesia Goyah, Jubir Menlu: Bukan Waktu yang Ideal untuk Berkunjung ke Myanmar
Sementara, utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, mengatakan saat berada di New York bahwa hari Rabu adalah 'hari paling berdarah' sejak Kudeta Militer di Myanmar pada 1 Februari 2021.
Schraner Burgener juga memperingatkan wakil kepala militer Myanmar Soe Win bahwa militer kemungkinan besar akan menghadapi tindakan keras dari beberapa negara sebagai pembalasan atas kudeta tersebut.
Baca Juga: Jepang Diguncang Gempa 7,1 SR, Getaran Terasa Hingga Tokyo dan Pusat Nuklir Fukushima
"Jawabannya adalah: 'Kami terbiasa dengan sanksi, dan kami selamat'," kata Burgener.
Aktivis setempat mengatakan, mereka menolak untuk menerima pemerintahan militer dan bertekad untuk mendesak pembebasan Suu Kyi yang ditahan dan pengakuan atas kemenangannya dalam pemilihan November 2020.
"Kami tahu bahwa kami selalu bisa ditembak dan dibunuh dengan peluru tajam, tetapi tidak ada artinya tetap hidup di bawah junta," kata aktivis Maung Saungkha.***