Asal Usul Sebutan China Benteng dan Kedatangan Pertama Orang Tionghoa di Teluknaga Tangerang

- 24 Januari 2022, 12:34 WIB
Altar Kelenteng Boen San Bio di Kota Tangerang, Provinsi Banten.
Altar Kelenteng Boen San Bio di Kota Tangerang, Provinsi Banten. /Tangkap layar YouTube Analogiken/

SERANG NEWS - Kedatangan orang China atau etnis Tionghoa di Banten tidak lepas dari kegiatan berdagang. Menggunakan jalur laut mereka masuk dan singgah di Muara Tanjung Burung, Teluknaga.

Motif perdagangan membuat etnis Tionghoa atau orang-orang China membangun kelenteng di sekitar pasar.

“Kelenteng dibangun tidak jauh dari pasar sehingga saudagar bisa singgah. Kalau tidak membaur tidak mungkin bisa diterima adanya klenteng,” kata Pembina Yayasan Nimmala Kelenteng Boen San Bio Yan Suharlim dikutip SerangNews.com dari buku Persamuhan di Banten.

Rentang waktu yang sangat panjang, lanjutnya, membuat etnis Tionghoa membaur dengan masyarakat. Bahkan, tidak jarang dari mereka yang melakukan pernikahan dengan warga setempat.

Baca Juga: Kisah Petilasan Pendakwah Islam di Tangerang, Raden Surya Kencana dalam Altar Kelenteng Boen San Bio

“Makanya, sekarang ada yang kulitnya hitam matanya sipit. Kulitnya putih, tapi matanya belo,” canda pria yang akrab disapa Koh Bebeng.

Senada dikatakan pengurus Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Provinsi Banten Oey Tjin Eng.

Menurutnya, etnis Tionghoa di kawasan China Benteng merupakan orang Tionghoa yang dulu leluhurnya menikah dengan warga asli Tangerang.

Kata dia, pada 1407 ada satu rombongan perahu di bawah pimpinan Tjen Tjie Lung atau Halung, terdampar di Teluknaga.

Baca Juga: Sejarah Awal Orang China Masuk Banten: Temuan Artefak hingga Peranan di Masa Kesultanan Banten

Semenjak itu rombongan mulai berbaur dengan masyarakat. Rombongan itu menikah dengan gadis-gadis dari Desa Pangkalan atau sekarang disebut Teluknaga.

Kesaksian itu berdasarkan Kitab Babad Sunda atau Tina Layang Parahyang. Nama Teluknaga diambil dari kapal pimpinan Tjen Tjie Lung yang ujung kapalnya berbentuk kepala naga.

Para rombongan beranak pinak dan menyebar, salah satunya ke Pasar Lama.

“Kalau untuk percakapan sehari-harinya karena mereka berbaur dengan warga asli Tangerang, jadi terbiasa berbahasa Indonesia,” ujar Tjing Eng.

Sosiolog Banten HS Suhaedi mengatakan, dalam sejarahnya etnis Tionghoa Tangerang sulit dilepaskan dengan kawasan Pasar Lama atau Jalan Kisamaun dan sekitarnya.

Baca Juga: Kaytsu dan Cakradana, Dua Sosok Penasihat Asal China yang Bawa Kesultanan Banten Capai Kejayaan

Mereka tinggal di gang yang sekarang dikenal sebagai Gang Kalipasir, Gang Tengah (Ciracab), dan Gang Gula (Cilangkap).

“Struktur tata tuang di situ sangat baik dan menjadi cikal bakal Kota Tangerang,” katanya.

Pada akhir 1980-an, sejumlah orang Tionghoa dipindahkan ke Kawasan Pasar Baru. Sejak itu mulai menyebar ke daerah-daerah lain.

Pasar Baru tempo dulu merupakan tempat transaksi (sistem barter) orang-orang Tiongkok yang datang lewat sungai dengan penduduk lokal.

Pada saat itu, banyak orang Tiongkok Tangerang yang kurang mampu tinggal di luar Benteng Makasar. Mereka terkonsentrasi di sebelah utara seperti Sewan dan Kampung Melayu.

Mereka berdiam di sana sejak 1700-an hingga pecah pemberontakan orang China tahun 1740.

Baca Juga: 7 Arca yang Menjadi Bukti Artefak Sejarah Orang China di Majapahit

“Dari sanalah muncul istilah China Benteng,” kata penulis buku tentang etnis Tionghoa di Banten ini.

Menurutnya, masyarakat China Benteng sudah berakulturasi dan beradaptasi secara masif dengan lingkungan sekitar.

Dalam percapakan sehari-hari, logat mereka sudah sangat Sunda pinggiran bercampur Betawi.

Baca Juga: Kapan Perayaan Hari Imlek 2022? Simak Penjelasan Waktu Tahun Baru China dan Sejarahnya di Indonesia

“Logat China Benteng khas. Ketika mengucapkan kalimat mau ke mana, misalnya kata ‘na’, diucapkan lebih panjang sehingga terdengar ‘mau ke mana...,” contoh Suhaedi.

Secara ekonomi, masyarakat Tionghoa tidak semuanya kaya. Banyak dari mereka yang hidup sederhana sebagai petani, peternak, nelayan, buruh, dan pedagang kecil.

Menurut Suhaedi, fenomena China Benteng menunjukkan bukti nyata harmonisnya kebudayaan Tionghoa dengan masyarakat lokal.

“Pembauran yang terjadi secara alamiah. Terlebih, tidak pernah terjadi friksi dengan etnis lain,” ujarnya.***

Editor: Ken Supriyono


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah