Potret Sejarah Pendidikan Banten Masa Lalu 2: Pro Kontra Berdirinya Sekolah OSVIA di Kota Serang

- 4 Mei 2021, 03:15 WIB
Murid OSVIA di Kota Serang Banten pada masa Pemerintah Kolian  Belanda.
Murid OSVIA di Kota Serang Banten pada masa Pemerintah Kolian Belanda. /Dok. OSVIA di Serang Banten: 1900-1927 karya Usmaedi./

SERANG NEWS - Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan OSVIA. Kota Serang dijadikan lokasi gedung sekolah pangreh praja atau calon pegawai-pegawai zaman Hindia Belanda.

Lokasi Gedung OSVIA ini, tepatnya di Jalan Ahmad Yani, Cipare, Kota Serang. Gedungnya yang kini difungsikan sebagai Markas Polres Serang Kota.

Penetapan Kota Serang sebagai lokasi OSVIA atau Opleidingen School voor Inlandsche Ambtenaren dilakukan pada 5 Oktober 1908. Dasarnya, Surat Keputusan Nomor 1 Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Pemilihan Kota Serang sebagai lokasi Gedung OSVIA diwarnai pro kontra. Dalam catatan notulensi rapat, menunjukkan silang pendapat atas pendirian sekolah di Ibukota Banten itu.

Baca Juga: Potret Sejarah Pendidikan Banten Masa Lalu: Kota Serang Pusat Pendidikan, Gedung Sekolah Tumbuh Subur

Udara yang panas jadi dalih kelompok yang kontra menolak pendirian OSVIA di Serang. Juga dalih masyarakat Serang yang homogen dan mayoritas petani. Pandeglang dan Bogor jadi alternatif pilihan.

Dalam perjalanannya, alasan itu tak cukup kuat untuk mewujudkan pendirian OSVIA di Kota Serang. Pertimbangan politis lebih dikedepankan. Kota Serang adalah ibukota Residen Banten. Pusat kota yang banyak ditinggali keluarga pejabat kolonial.

Catatan OSVIA dalam buku 'Banten dan Pembaratan Sejarah Sekolah 1833-1942' karya Mufti Ali disebutkan, pendirian sekolah diawali proses panjang dengan studi kelayakan. Juga perdebatan alasan pemilihan lokasi.

Silang pendapat terlihat dari dokumen seperti notulensi rapat, dengar pendapat dengan Raad van Nederlanlansch-Indie dari Direktur Pertanian, catatan Departemen OEN, dan catatan dari Dinas Pemerintahan Dalam negeri.

“Keputusan untuk membangun OSVIA di Serang cukup alot,” tulis Mufti Ali.

Baca Juga: Ki Hajar Dewantara, Kilas Balik Sejarah Hari Pendidikan Nasional dan Taman Siswa Yogyakarta Bagian 2

Masa itu, biaya OSVIA sepenuhnya ditanggung pemerintah kolonial. Ada enam lokasi di seluruh Indonesia (Hindia Belanda). Yakni, Serang, Bandung, Magelang, Madiun, Blitar, dan Probolinggo.

Siswa OSVIA tidak hanya dari Kota Serang. Pada surat resmi 27 Mei 1910 gubernur jenderal disebut Mufti, ada permintaan agar calon siswa dari Lampung dan Palembang dapat diterima OSVIA di Serang.

Permintaan lainnya, penggunaan bahasa Jawa Serang sebagai bahasa pengantar dan bantuan subsidi untuk pesta pembukaan sekolah.

Bahkan ada surat pemerintah kolonial yang mengizinkan satu orang Aceh atas nama Teuku Bahron. Termasuk dua orang Kalimantan Barat atas nama Urai Muhsin dan Urai Abu Bakar untuk masuk OSVIA di Serang.

Sebagai sekolah calon pangreh praja, siswa OSVIA mendapat pelajaran berbagai disiplin ilmu. Mulai dari ilmu pemerintahan, hukum, bahasa Belanda, ilmu ukur tanah, dan ukur permukaan air. Lalu, pembuatan garis dan peta hingga pengetahuan alam dan ilmu pertanian.

Baca Juga: Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Bagian I: Kisahnya Tak Tamat Sekolah dan Dibuang ke Belanda

Menurut peneliti Banten Heritage Dadan Sujana, siswa-siswa OSVIA dididik sangat disiplin. Direktur sekolah dan pengajarnya tidak hanya memantau siswa mengerjakan tugas.

Akan tetapi, ketepatan siswa dalam menyelesaikannya. Termasuk pengawasan secara ketat kehidupan asrama siswa. “Belanda masa itu sangat terencana dan terarah,” katanya.

Pendirian OSVIA tidak lepas dari kebutuhan Pemerintah Belanda, tetapi memanfaatkan sistem aristokrasi yang ada dari keluarga bangsawan untuk menjalankan administrasi kolonialnya. Sifat eksklusif golongan sosial dijaga.

Caranya, dengan memberikan jabatan-jabatan yang tinggi hanya kepada para kerabat raja saja. Lalu, menunjukkan hubungan kekerabatan tersebut sebagai syarat siswa sekolah untuk pegawai pangreh praja.

Baca Juga: Sejarah Awal Orang China Masuk Banten: Temuan Artefak hingga Peranan di Masa Kesultanan Banten

Lantaran itu, Dadan menduga, banyak bupati masa itu yang sebenarnya kalangan masyarakat biasa. Namun, setelah Belanda mengangkatnya sebagai pejabat, yang bersangkutan mengubah namanya dengan tambahan gelar.

Kata Dadan, banyak bupati di Banten yang mengaku berasal dari keturunan Siliwangi dan Sultan Banten. Padahal, asal muasal tidak jelas dan tidak bisa dibuktikan. “Di Banten sangat sedikit para bupati yang dari Banten, kebanyakan dikirim dari Priangan,” katanya.        

Seiring perubahan yang terjadi, pemerintah Hindia Belanda melakukan reformasi di bidang birokrasi. Pada tahun 1915, prinsip pewarisan jabatan dihapuskan. Alasannya, tidak sesuai lagi dengan birokrasi modern.

Baca Juga: Jadi Ikon Wisata Religi Banten, Ini 7 Fakta Menarik Masjid Agung Banten Lama

“Sistem ini membuat seseorang untuk menjadi bupati tidak harus dari kalangan bangsawan,” katanya.

Pandangan Dadan dipertegas tulisan Usmeadi dalam buku Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi untuk Pangreh Praja Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Serang Banten tahun 1900-1927.

Usmeadi menyebut, pemerintah Hindia Belanda menerapkan peraturan baru. Yakni, seorang calon bupati harus memenuhi syarat-syarat seperti cakap, rajin, loyal, mampu berbicara bahasa Belanda.

Mereka tidak harus keturunan seorang bupati, dan telah menjadi wedana atau patih minimal dua tahun serta pendidikan minimal lulusan OSVIA. Akan tetapi, memiliki kecakapan sesuai kriteria pendidikan yang diberlakukan Belanda.***

Editor: Ken Supriyono


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x