Masa Pembuangan dan Akhir Kisah 'Jalan Sunyi' Bapak Pers Indonesia Tirto Adhi Soerjo

- 7 Desember 2020, 16:18 WIB
Lukisan Bapak Pers Nasional Tirto Adhi Seorjo.
Lukisan Bapak Pers Nasional Tirto Adhi Seorjo. /Ken Supriyono/Serang News/

SERANG NEWS – Menjelang akhir hayatnya menjadi hari-hari yang sulit bagi Tirto Adhi Soerjo dari timbunan kesulitan.

Seperti umumnya terjadi pada seorang pejuang kemerdekaan, mereka dikalahkan, dan dibabat. Nama dan perannya dihilangkan dalam hiruk pikuk politik.

Manggadua, Jakarta 7 Desember 1918, sebuah iring-iringan kecil, sangat kecil, yang bukan kerabat atau kawan seperjuangan menghantarkan jenazah Tirto Adhi Soerjo ke peristirahatan terakhir.

“Tak ada pidato-pidato sambutan, pewartaan atas jasa-jasa dan amalan dalam hidupnya yang berlangsung pendek. Selepas itu, orang pun meninggalkannya,” tulis Muhidin M Dahlan dan Iswara N Radiya dalam epilog buku Karya-karya lengkap Tirto Adhi Soerjo yang dikutip SerangNews.com, Senin 7 Desember 2020, tepat 102 tahun meninggalnya Tirto Adhi Seorjo.

Baca Juga: Senjata Pena Tirto Adhi Soerjo, Mas Marco Kartodikromo: Pengguncang Bumiputra Bangun Dari Tidurnya

Hal serupa juga ketika Tirto pertama kali berangkat ke pembuangan yang hanya dihantar Bupati Cianjur, RAA Prawiraredja. Seorang yang pertama kali membantunya menerbitkan Soenda Berita dan pertama kali menyokong Medan Prijaji.

“Sebuah antiklimaks dan akhir kisah yang suram dan tragis,” sebut Muhidin.

Nyaris berkebalikan dengan usaha-usaha yang pernah dilakukannya dalam satu putaran hidupnya yang pendek. Yakni, menggerakan dan mengabarkan bahwa Republik yang masih dalam angan-angan itu harus mandiri. Harus berdaulat dan manusia-manusianya merdeka.

“Menjelang tercekik ajal, Tirto memang sudah digencet di sana sini dari tindakan-tindakan yang diambilnya sendiri. Pekerjaan sebagai penulis dan sekaligus penyuluh orang-orang melata di sarang kolonialisme bukan sesuatu yang mudah,” papar penulis buku Seabad Pers Kebangsaan itu.

Tirto pastilah sudah sadar jalan dengan resiko itu. Kata Muhidin, itu bukan aib karena melawan perompak bukanlah air, apalagi dosa. “Istilah nasionalisme memang masih samar dalam ceruk sadar Tirto, tapi dia tahu mana bangsa yang memprentah dan yang terprentah,” sebutnya.

Baca Juga: Nama-nama Media Massa yang Didirikan dan Dikelola Tirto Adhi Seorjo

Akhir Desember 1912 menjadi senjakala yang mengaburkan nama Tirto. Hidupnya yang sepenuhnya diserahkan dalam jalan jurnalisme, jalan pergerakan dan meretas kemerdekaan dihantam pemerintahan masa itu.

12 Desember 1912, Tirto diperkarakan karena delik pers yang disebarkan laporan pencemaran ama baik oleh pejabat pemerintahan yang kena sentilnya. Ditambah lagi kondisi keuangan Medan Prijaji yang mengalami persoalan.

“Hutang menggunung, kawan kian banyak menjauh,” kata Muhidin.

Tirto pun diadili, dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman buang untuk kedua kalinya. Kali ini lebih lama, lebih jauh dan lebih terasing. “Pengadilan memutuskan Tirto dibuang ke Ambon. Ini hukuman terberat buatnya dan sekaligus ini sukses besar kolonial memacetkan seluruh usahanya mencerahkan bangsanya dengan jalan pers dan gerakan,” papar Muhidin mengambarkan pembuangan yang membuat Tirto tak bisa kembali bangkit.

Baca Juga: Tujuh Jalan Perjuangan Tirto Adhi Soerjo, Dari Jurnalis, Dokter hingga Pergerakan Kebangsaan

Selain dibuang, Rinkes yang menjadi penasihat Pemerintah Kolonial untuk Urusan Bumiputra melakukan pengawasan khusus.

Sebenarnya, saat 1914 Tirto Adhi Soerjo kembali ke Betawai dari masa pembuangan, ia mencoba bangkit bersama anak didiknya Raden Goenawan di Medan Prijaji. Mereka tinggal di Hotel Samirono yang dulunya bernama Hotel Medan Prijaji milik Tirto.

Rupanya setelah Tirto dibuang ke Ambon, Goenawan atas inisiatifnya sendiri mengambil alih hotel tersebut dan mengganti dengan namanya. “Bisa jadi itu siasat yang dilakukan Goenawan untuk menghindari pembekuan dan penyitaan aset-aset Medan Prijaji karena hutang-hutang Tirto.

Tirto mengumpulkan serpihan-serpihan kabar tentang usahanya di Batavia. Namun, ternyata semua harta bendanya sudah ludes tak berbekas. Keadaan kaum Bumiputra pun sudah berubah tanpa bisa Tirto bayangkan sebelumnya.

Baca Juga: Tirto Adhi Soerjo Pelopor Pers Perempuan Indonesia Bernama Poetri Hindia

“Tirto kian terasing dan sendirian akibat geraknya disudutkan hingga tak bisa kemana-mana lagi. Kekalahan demi kekalahan ditanggungnya dan keprihatinan akut terhadap penderitaan bangsanya berakibat buruk pada mental dan kesehatannya yang terus menurun,” ungkap Muhidin.

Akhirnya, pada 7 Desember 1918 Tirto Adhi Soerjo meninggal dunia dalam kesunyian di pangkuan sahabatnya Goenawan.

“Mas Tirto meninggal di tangan saya karena disentri,” aku Goenawan yang SerangNews.com kutip dari buku berjudul Tirto Adhi Soerjo Bapak Pers Nasional karya M Rodhi As’ad yang terbit pada 2012.

Baca Juga: Artis Dewi Yull Ternyata Cicit Dari Bapak Pers Nasional Tirto Adhi Soerjo

Kendati namanya pernah dihilangkan bahkan nyaris tak terdengar lagi pasca-kemerdekaan, Orde Baru menyematkan Tirto sebagai perintis kemerdekaan. Pramoedya Ananta Toer lebih tegas lagi menyebut sebagai Bapak  Pers Indonesia. Kemudian, pada 2006 Tirto Adhi Soerjo dianugerahi Pahlawan Nasonal.

"Tirto Adhi Soerjo adalah Sang Pemula, yang pertama-tama mengawali perjuangan pergerakan nasional dengan senjata otak dan pena," tulis M Rodhi As'ad. ***

Editor: Ken Supriyono

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x