Tirto Adhi Soerjo, Anak Bangsawan yang Memilih Jalan Pers Pergerakan dan Kebangsaan

- 7 Desember 2020, 10:39 WIB
Bapak Pers Nasional Tiro Adhi Soerjo, pendiri koran Bumiputra pertama Medan Prijaji dan Sarikat Dagang Islamiah (SDI) di masa awal pergerakan nasional.
Bapak Pers Nasional Tiro Adhi Soerjo, pendiri koran Bumiputra pertama Medan Prijaji dan Sarikat Dagang Islamiah (SDI) di masa awal pergerakan nasional. /Ken Supriyono/Serang News/

SERANG NEWS – Tirto Adhi Soerjo memilih jalan sunyi di garis pers pergerakan dan kebangsaan hingga akhirnya meninggal dunia di usia muda, pada 7 Desember 1918

Nama dan seluruh amalnya pernah menghilang dalam belantara memori pergerakan awal kebangsaan karena politik arsip Belanda yang terorginisir rapi. Berpendar-pendar pada dekade 1950-an, Pramoedya Ananta Toer memunculkan kembali dalam wajah koran-koran era Soekarno.

“Kadang sepertiga, kadang separuh halaman. Ada serial tentang sepak terjangnya (Tirto Adhi Soerjo),” ucap Muhidin M Dahlan dalam video dokumentasi Haul Tirto Adhi Soerjo ke-101 Tahun Journalist Lecture yang dikutip SerangNews.com, Senin 7 Desember 2020.

Menurut Muhidin, tulisan Pram membuat banyak kalangan yang terbuka matanya atas peran besar Tirto yang hilang. Masa Orde Baru (Orba) Tirto disebut sekadar tokoh perintis pers. Sementara Pram dengan tegas menyebut Bapak Pers Nasional.

Baca Juga: Tirto Adhi Soerjo, Jejak Bapak Pers sekaligus Pahlawan Nasional

Setelah reformasi berjalan sewindu, Tirto akhirnya dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional dengan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 85/TK/2006.

Raden Mas Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora Jawa Tengah pada 1880. Nama kecil Djokomono. Ayahnya bernama Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirthodhipoero, seorang pegawai kantor pajak.

Djokomoni hanya beberapa tahun saja tinggal bersama orangtuanya. Demi sekolah di pendidikan dasar Europeessh Lagere School (ELS), ia mengikuti nenek dan kakeknya yang bernama Tirtonoto, seorang Bupati Bojonegoro.

Selepas neneknya meninggal, Tirto lalu pindah ke Madiun, ikut sepupunya RMA Brotodiningrat yang juga Bupati Madiun. Tak lama, ia kembali pindah lagi. Kali ini ke Rembang untuk tinggal bersama kakaknya, RM Tirto Adhi Koesoemo, seorang Jaksa Kepala Rembang.

Baca Juga: Mewarisi Spirit Raden Mas Tirto Adhi Soerjo

Setelah lulus ELS, Tirto yang berusia sekira 13-14 tahun pindah ke Betawi dan melanjutkan ke HBS (Hogeere Burger School). Lalu melanjutkan sekolah dokter Jawa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artchen).

“Tirto tak tamat sekolah dokter, hanya sampai tingkat 4 dengan 3 tahun kelas persiapan,” tulis Muhidin M Dahlan dalam buku ‘Karya-kaya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan.’

Tirto terlanjur cinta pada dunia tulis menulis. Pada 1894-1985, Tirto sudah mengirimkan pelbagai tulisan ke sejumlah surat kabar terbitan Betawi dalam Bahasa Melayu dan Betawi.

“Masa inilah yang menjadi titik tolak karir Tirto menjadi seorang jurnalis, penulis, sekaligus pejuang pergerakan nasional,” sebut penulis Seabad Pers Pegerakan dan 1001 Saksi Mata Sejarah Republik itu.

Akhir abad 19, semangat pembentukan kesadaran berbangsa kian berapi. Gerakan rakyat tampil dalam banyak bentuk. Mulai dari surat kabar, jurnal, rapat dan pertemuan, serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, nyanyian hingga pemberontakan.

Baca Juga: Masa Pembuangan dan Akhir Kisah 'Jalan Sunyi' Bapak Pers Indonesia Tirto Adhi Soerjo

Baca Juga: Jejak Bersejarah Hotel Voos di Kota Serang (1) Dijadikan Makodim sampai Berganti Mal

Fenomena itu, ditulis Takashi Shiraishi dalam buku ‘Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926’, menjadi hal yang paling mencolok bagi orang Belanda untuk melihat kebangkitan Bumiputra pada awal abad ke-20.

Menurutnya, pergerakan nasional yang dipahami dalam histiografi ortodoks dari Indonesia pasca-merdeka adalah perjalanan “embrio bangsa” dalam mencari namanya Indonesia.

“Sebelum Indonesia ditemukan, embrio bangsa ini telah hadir dalam pikiran dan gaya kaum muda yang segera memperoleh alat kelembagaan untuk mengungkap kesadaran nasionalnya. Alat itu adalah surat kabar Bumiputra,” sebut sejarawan Jepang kelahiran 1950 itu.

Ketika tahun-tahun awal jurnalis Bumiputra bekerja kepada penerbit Indo dan Tionghoa, sehingga tak sepenuhnya bebas memimpin embrio bangsa, kata Shirasiahi, Tirto yang masih berusia 21 tahun muncul memimpin surat kabarnya sendiri.

Baca Juga: Sejarah Oeridab: Uang Banten di Masa Darurat Pemerintahan Indonesia (1) Dicetak pada Orang China

Menurutnya, dengan visi misi Medan Prijaji, koran yang didirikan pada 1907, Tirto membuahi sebuah bangsa yang merdeka. “Bangsa kini dapat dapat dibayangkan dengan batas-batas yang jelas, atau dengan kata-kata Tirto Adhi Soerjo sendrii sebagai Anak Negri Hindia Belanda,” paparnya.

Tirto memang mengambil sebagian besar dari metode gerakan tersebut demi mewujudkan impian mulianya untuk menyadarkan bangsa dari ketertindasan. Jejak langkah Tirto dalam pers Bumiputra memiliki program jelas, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dengan meningkatkan pengetahuan rakyat dari berbagai bidang.

Kemudian, mempersiapkan masyarakat pembaca untuk menyongsong zaman modern yang mulai merasuk masuk.

“Untuk mewujudkannya diperlukan gerakan nyata dan tak hanya pepesan kosong seperti yang ditegaskan Tirto, “semboyan kita tentang perjuangan untuk mencapai kemajuan tidak boleh hanya menjadi omongan kosong saja!” papar Muhidin menirukan ucapan Tirto yang tertuang dalam salah satu tulisannya pada Medan Prijaji. ***

Editor: Ken Supriyono

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x