Temuan Srimanganti, Misteri Singasana Sultan Banten dan Potret Keraton Surosowan di Dokumen Orang Eropa

29 Januari 2022, 22:01 WIB
Temuan kanal di pintu masuk ruang Srimanganti Keraton Surosowan Kesultanan Banten. /Ken Supriyono/SerangNews.com/

SERANG NEWS - Bangunan utuh Keraton Surosowan masih menjadi misteri. Temuan-temuan arkeologis yang ada belum bisa menjadi simpulan.

Tak terkecuali, temuan struktur bangunan ruang tunggu tamu Sultan Banten yang disebut dengan nama srimanganti, pada pertengahan Juli 2019.

Nama Srimanganti memang tercatat pada pupuh kronik Sajarah Banten (SB). Nama ini merujuk pada sebuah bangunan ruang tunggu tamu-tamu raja atau Sultan Banten.

Temuan tim ekskavasi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten pertengahan Juli 2019 lalu memberi petunjuk baru.Struktur bangunannya berupa fondasi berbahan batu bata dan karang.

Baca Juga: Kisah Sultan Ageng Tirtayasa dan Bangsawan Banten Mancing sambil Pantau Pembangunan Kanal di Tanara

Posisinya di depan pintu gerbang utara Keraton Surosowan. Lurus dengan Watu Gilang, tempat penobatan raja yang berlokasi di selatan lapangan raja (kini Alun-alun Banten Lama).

Temuan itu bersamaan keramik dari Cina dan Jepang, uang koin kesultanan, uang koin Belanda, dan peluru meriam.

Lantainya diduga terhubung hingga pintu masuk Keraton Surosowan, yang kini tinggal reruntuhannya saja. Konon, sebelum tamu masuk ke Surosowan, Sultan akan bertemu dengan para tamunya di ruang tersebut.

Temuan itu belum menjadi simpulan. Tapi, terangkai dengan petunjuk lain dari catatan Cortemunde, seorang ahli bedah asal Denmark, yang mengunjungi Sultan Banten pada 1673.

Baca Juga: Perkuat Misi Dagang Banten, Ini Proyek Kanal dari Tanara sampai Cidane di Masa Sultan Ageng Tirtayasa

Kala itu, belum ada alat untuk memotret. Cortemunde hanya meninggalkan jejak lewat sketsa lukisan catatan perjalanannya. Salah satunya, sketsa kedatangan delegasi Denmark di Istana Banten.

Pada lukisan tampak lapangan istana dengan sebuah bangunan yang terdiri dari tiga bagian di belakangnya. Bangunan yang disebut Srimanganti.

Di belakang bangunan itu ada sebuah tembok yang mengelilingi Keraton Surosowan. Di luar tembok terlihat dua bangunan dari bahan permanen, yang salah satunya memiliki atap bergaya China.

Baca Juga: Megahnya Kota Banten Lama di Masa Kesultanan Banten, Setara Amsterdam dan Dilengkapi Meriam Pertahanan

Ilustrasi karya Cortumunde disebut Claude Guillot dalam karyanya berjudul, Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII.

“Karya Cortumunde bukan ilustrasi yang dipesan di Eropa seperti banyak ilustrasi lain,” tulis arkeolog Perancis itu yang dikutip SerangNews.com dalam buku terbitan Gramedia pada 2009.

Guillot hanya menyangsikan cerobong asap di atas atap yang terlihat pada sketsa. Namun, ia tetap memberi perhatian khusus atas pengaruh Cina di Banten.

“Diketahui Sultan Banten selalu menerima baik orang-orang Tionghoa,” sebut Guillot.

Catatan Cortemunde diramu Guillot dengan catatan orang Eropa lain. Salah satunya tulisan Steven Verhalgen pada 1600, yang dirujuk Van der Chijk untuk menulis Banten Lama.

Tulisannya menggambarkan lapangan di dalam kompleks istana serta pintu-pintu yang dijaga dan sebuah pendopo.

Baca Juga: Sejarah Asal Asul Kesultanan Banten dan Daftar Sultan Banten Pertama hingga Terakhir

Sementara, kronik Sajarah Banten (pupuh/bab 44) yang diterjemahkan praktisi Sejarah Banten Yadi Ahyadi, lebih detail menggambarkan istana raja di medio akhir masa kepemimpinan Sultan Abulmafakir (kakek Sultan Agung Tirtayasa).

“Di sebelah selatan lapangan terdapat Srimanganti tempat tamu-tamu raja biasanya menunggu sebelum diterima,” tulis Yadi yang menerjemahkan kronik yang aslinya tertulis dalam aksara Arab Pegon dan berbahasa Jawa kawi.

Memasuki kompleks yang sesungguhnya terdiri dari sejumlah pelataran dan bangunan yang disebut made, sebuah kampung bernama candi raras, kantor bendahara istana, dan masjid pribadi raja yang mempunyai sebuah menara.

Lalu, meriam terkenal yang bernama Ki Jimat, kandang kuda, dan tempat penjagaan di beberapa sudut istana.

Baca Juga: Nama Banten dan Sunda pada Dokumen Pelayaran Orang China di Masa Banten Girang hingga Kesultanan Banten

Catatan tamu raja yang bernama Tavenier, yang catatannya juga dikutip Guillot menggambarkan suasana istana pada 1648. Tavenier mengaku diterima raja di pendopo yang tiang penyangganya berjarak 40 kaki, satu dengan lainnya.

Prediksi Guillot, pendopo ini adalah balai penghadapan di area terbuka umum di istana. Biasanya, raja duduk di atas sejenis kursi kayu berukiran dan dilapisi emas bagaikan bingkai lukisan.

Pendopo berada di sebuah lapangan berbentuk bujur sangkar dengan para dayang dan prajurit yang duduk di bawah kerimbunan beberapa pohon.

Guillot menyebut catatan-catatan itu tidak mencukupi untuk mendapatkan gambaran yang terperinci.

Baca Juga: Kaytsu dan Cakradana, Dua Sosok Penasihat Asal China yang Bawa Kesultanan Banten Capai Kejayaan

Tetapi menunjukkan dengan jelas bahwa istana itu adalah istana Jawa tradisional. Petugas BPCB Soni Prasetyo menyebut, banyak sumber tentang Banten, namun tak ada dokumen yang merekam secara utuh Keraton Surosowan.

Kegiatan pemugaran yang dilakukan BPCB pun baru parsial dan dilakukan sebatas pada struktur yang terlihat pasca Surosowan dihancurkan.

Pihak BPCB juga belum memiliki sumber data yang berkenaan dengan bentuk keraton. Terlebih perkembangan fotografi baru muncul sekira 1820-an. Sedangkan kehancuran Keraton Surosowan lebih awal dari tahun tersebut.

“Jika dilihat dari struktur pondasi yang ada, jauh lebih rumit dari yang digambarkan,” kata Soni.

Tak mudah memang mengungkap Keraton Surosowan yang tersisa fondasi dan puing-puing yang berserakan. Dari area yang memiliki luas sekira 4,5 hektare itu pun belum ditemukan secara pasti lokasi singgasana raja.***

Editor: Ken Supriyono

Tags

Terkini

Terpopuler