Dijelaskannya, simbol dan ungkapan tersebut sebagai manifestasi pikiran, kehendak, dan rasa Jawa yang halus.
Segala sikap dan perilaku yang terbungkus semu itu diupayakan agar dapat mengenakan sasama hidup.
Dalam arti, lanjut Prof Suwardi, melalui hal-hal yang disamarkan, ada yang disembunyikan tetapi tetap jelas.
“Karena masing-masing pemakai simbol telah paham. Adapun yang belm paham terhadap semu, diharapkan mempelajari dan menyelami kedalaman simbol itu,” paparnya.
Baca Juga: Diplomasi Keris ala Prabowo dan Menhan Inggris, Dahnil Anzar: Upaya Perkenalkan Budaya Nusantara
Penyampaian sikap dan perilaku yang tersamar juga bentuk kehalusan budi. Berarti pula orang Jawa memang tak berlaku vulgar.
“Kendati memang harus bertindak kasar, misalnya marah sekalipun tetap disampaikan dengan semu,” katanya.
Dengan cara semacam ini, papar Prof Suwardi, diharapkan jarak sosial tetap terjaga. Keretakan sosial akan terjaga melalui budaya semu yang halus.
“Kalau begitu dapat dinyatakan orang Jawa cenderung menjalankan hidupnya untuk membahagiaan sesama,” ujarnya.***