Mengapa Orang Jawa Penuh Isyarat dan Simbol? Begini Penjelasan Ajaran Falsafah Hidup Jawa

- 5 Oktober 2021, 18:19 WIB
Mengapa orang Jawa penuh simbol dan isyarat dalam falsafah hidup Jawa.
Mengapa orang Jawa penuh simbol dan isyarat dalam falsafah hidup Jawa. /pixabay/masbet

SERANG NEWS – Sudah bukan rahasia umum orang Jawa atau Masyarakat Jawa penuh dengan simbol dan isyarat.

Kebiasaan ini dikenal dengan istilah populer ‘wong Jawa nggone semu’. Artinya, orang Jawa memang tak menampilkan segala sesuatu dalam bentuk kasat mata. Penampilannya penuh dengan isyarat (sasmita) atau simbol.

Menurut Profesor Suwardi Endraswara, sifat orang Jawa ini, biasanya muncul dalam usaha mendidik atau menyampaikan gagasannya kepada orang lain yang tidak terus terang, melainkan dengan simbol atau lambang budaya.

Baca Juga: Percaya Mitos Angka Ganjil dan Penuh Simbol? Ini Karakter Orang Jawa yang Jarang Diketahui

“Kenyataan ini dipengaruhi oleh sikap orang Jawa yang lebih suka bersikap menyatakan sesuatu secara tidak langsung hingga sukar bisa diketahui seketika apa sesungguhnya yang dimaksud dan dikehendaki,” tulisnya sebagaimana dikutio SerangNews.com dalam buku ‘Falsafah Hidup Jawa’, Selasa 5 Oktober 2021.

“Masyarakat Jawa tadisional (dahulu) sering mengaktualisasikan sikap dan perilaku hidupnya ke dalam wujud yangtidak jelas atau disamarkan,” sambung guru besar Ilmu Pendidikan Jawa itu.

Sistem simbol itu juga tidak terlepas dari sistem sosial, gaya hidup, dan mobilitas sosial.

“Budaya semu berarti penuh simbol. Di dalamnya banyak menampilkan ungkapan,” ujar Prof Suwardi.

Baca Juga: Punya Cakra Ajna Langit dan Ilmu Pengetahuan, Simak Keistimewaan Weton Pasaran Wage dalam Primbon Jawa

Dijelaskannya, simbol dan ungkapan tersebut sebagai manifestasi pikiran, kehendak, dan rasa Jawa yang halus.

Segala sikap dan perilaku yang terbungkus semu itu diupayakan agar dapat mengenakan sasama hidup.

Dalam arti, lanjut Prof Suwardi, melalui hal-hal yang disamarkan, ada yang disembunyikan tetapi tetap jelas.

“Karena masing-masing pemakai simbol telah paham. Adapun yang belm paham terhadap semu, diharapkan mempelajari dan menyelami kedalaman simbol itu,” paparnya.

Baca Juga: Diplomasi Keris ala Prabowo dan Menhan Inggris, Dahnil Anzar: Upaya Perkenalkan Budaya Nusantara

Penyampaian sikap dan perilaku yang tersamar juga bentuk kehalusan budi. Berarti pula orang Jawa memang tak berlaku vulgar.

“Kendati memang harus bertindak kasar, misalnya marah sekalipun tetap disampaikan dengan semu,” katanya.

Dengan cara semacam ini, papar Prof Suwardi, diharapkan jarak sosial tetap terjaga. Keretakan sosial akan terjaga melalui budaya semu yang halus.

“Kalau begitu dapat dinyatakan orang Jawa cenderung menjalankan hidupnya untuk membahagiaan sesama,” ujarnya.***

Editor: Ken Supriyono


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah